Selasa, 26 Februari 2008

WELCOME, MISS MEGA!


Aku punya seorang sahabat karib. Megawati namanya. Biasa kupanggil Mega, Meggie, Jeng Mega, Megaloman or Smeagol. Ku kenal dia sejak semester kedua kuliahku di Akademi Bahasa Asing. Orangnya imut, polos bin santai, kadang childish kadang dewasa (baca : sok dewasa..hihi).

Pasca kami merayakan wisuda kelulusan kami sebagai lulusan Diploma 3, aku habis-habisan mengajaknya tuk melanjutkan ke FKIP Ekstensi Bahasa Inggris Universitas Tanjungpura Pontianak. Dan habis-habisan pula dia menolak dan mengelak, “Capek ah kuliah terus. Belajar terus. Dapat tugas terus…” kilahnya santai.

Aku sempat kecewa dan gemas dengan sikapnya itu. Kebetulan pasca wisuda aku berangkat ke Yogya beberapa waktu, untuk menghadiri wisuda Abang semata wayangku yang telah menyelesaikan S1 arsitekturnya di UGM (sekarang sedang meneruskan S-2..caiyo semangat terus, Bang I kurus. Success selalu). Berpisah dengan sohib-sohibku Mega dan Robi masa itu adalah hal yang tidak terlalu mengenakkan. Maklum, 3 tahun kebersamaan dalam persahabatan dan pertikaian senantiasa menjadikan kami sudah seperti keluarga saja layaknya. Jadi aku cukup bersedih dengan jarangnya perjumpaan kami pasca wisuda. Belum lagi anjuran ortu yang memberikan kesempatan padaku tuk melanjutkan kuliah di Yogya bersama-sama Abang. Duh..

Tetap saja pendirian jeng Mega tidak berubah. Ogah nerusin kuliah, katanya. Eeh..tak lama kemudian, ketika aku sudah balik ke Ponti dan bersilaturahim ke rumah Mega, ternyata ada angin segar disana. Dia bilang, mama-nya tidak setuju dengan keputusannya tidak melanjutkan kuliah.

Sambil tertawa-tawa, dia bercerita,

“Tau ngga mi’? Mama bilang kalo ngga mo nerusin S1 lagi, jangan tinggal di rumah ini lagi..hehehhehe. Kejam bener…..” aku dan dia pun ngikik bareng sore itu di teras rumahnya yang sejuk.

Tapi tetep aja dia ngga bersemangat dengan keputusan yang berlandaskan keterpaksaan itu. Jeng Mega memang lebih senang di rumah, dan mengerjakan rutinitas memasak! Duh, mulia banget sohibku ini. Yang bikin aku kagum tuh, adik-adiknya yang 3-3 nya cewek semua, masih pada ABG pula, patuh dan mendengarkan Mega selaku kakak. jempol deh, buat jeng Mega!

“Walopun kita jadi mahasiswa FKIP , aku ngga niat banget jadi guru..” keluhnya.

“Lho? Jadi mo nya jadi apaan dong?” tanyaku penasaran.

“PNS.” Jawabnya sambil tertawa-tawa lagi..** Ih banyak ketawanya…serem juga niy anak..**

“Meg, setiap keputusan berisiko” kataku diplomatis. “Dan risiko-risiko itu pulalah yang akan mengukirkan takdir kita…” lanjutku lagi. “Remember, Allah tidak memberikan segala apa yang kita inginkan. Dia hanya akan memberi apa yang kita butuhkan. Karena Allah lebih tau apa yang paling baik untuk kita…” closing-ku.

Kembali Mega mengangguk-angguk. Dan you know what, then? Kami tertawa-tawa kembali…** walah..**

Itu kisah 2 tahunan yang lalu. Kini mega melewati harinya yang ke-4 mengajar di sebuah Elementary school. Kelas bahasa Inggris tentu saja. Awalnya aku cukup terkejut, ketika pertama kali dia memberitahukan bahwa esok dia akan mulai mengajar di sebuah sekolah negeri. Hmm? Apa ngga salah nih? Pikirku saat itu. Perasaan dia paling ogah dengan yang namanya ngajar-mengajar.

“Lumayan Mi’…..kan diriku sudah pernah ikut menemani dirimu mengajar. Jadi setidak-tidaknya punya gambaranlah, kayak apa suasana mengajar itu…” katanya ceria.

Yah, selamat mengajar dan menjadi guru muda aja buat sahabatku. Insya Allah apa yang sedang kita jalani hari ini, adalah rajutan takdir kita untuk masa depan. Dan setiap keputusan yang kita ambil, tersimpan di dalamnya risiko-risiko yang harus berani kita hadapi. Allah paling tahu apa yang terbaik buat kita.

Tidak ada komentar: