Sabtu, 08 November 2008

Imam 105,8

Jumat siang. Seperti biasa cuasa kota Pontianak panas, menyengat dan berbisa. Semangkok penuh es teler yang saya nikmati di deket kawasan masjid raya Mujahidin tak mampu mengusir suasana panas itu. Biarlah. Udah biasa, juga….

After kenyang menyeruput es teler, kayak biasa saya balik bentar ke kantor Radio Mujahidin yang juga masih terletak di kawasan Masjid raya Mujahidin. Nangkring bentar to nge-net di ruang penyiar mumpung sepi ( hi hi..manfaatin fasilitas). Tak lama terdengar suara nyaring Riza, nyuruhin cepet wudhu. Dy salah satu OP radio. Eh salah ding. Gak Cuma OP, dia juga sebagai Music Director, dan Koordinator Operator plus rangkap tukang cuci-cuci n ngepel-ngepel…Pokoknya keren.

After wudhu bareng-bareng Teteh di Lantai 2, kitapun memasuki studio 105,8. Biasanya emang kita sholat disitu kalo hari Jumat gini. Tempatnya luas, adem lagi. Karena khan ber-AC. Blum lagi ada aroma melon-nya ( melon ato apa, gitu. Pokoknya buah-buahan seger gitu deh) berasa mem-fress kan otak yang lelah.

After sholat sunnah, mulai deh to sholat berjama’ah.

Dan lagi-lagi kejadian ini terulang lagi. Terutama kalo Ukhti Eka dan Rizyana yang biasanya mimpin sholat / meng-imami sholat, lagi gak ada.

Yah..apes. Yang hari ini sholat di studio adalah orang-orang sebangsa aku, Riza dan Teteh. Mangnya napa??

Hah. Liat aja…ni kejadian ud sering terjadi.

Riza : “Teteh Imam!!” (gaya one commando)
Kejadian berikutnya sudah bisa diduga-duga,

(Teteh dengan gerakan cepat, segera menghindar, melompat, berputar dan salto sebanyak 2 x …)  Bo’ongan.

Riza : “Mimi!!!”

(Dengan gesit dan gerakan yang anggun bak spider-woman, segera bersembunyi, empet-empetan, membentuk sebuah formasi bersama Teteh. Sebuah penolakan yang luar biasa cantik).

Nah..jadilah kita bertiga saling tuding, saling tunjuk dan saling dorong-dorongan tuk dirujuk sebagai Imam sholat kita siang itu. Lagi-lagi, lagi-lagi!! Owh…..mengapa semua harus terjadi kembali.

Riza : “Mimi imam!!!”
Aku : “Gak!!! Trauma pernah salah ngimamin. Ku tak mau mengorbankan kalian!”
Riza : “Teteh. Cepatlah...!” ( udah mulai-mulai Bete’).
Teteh : “Gantian ah Teteh terus. Yang lulusan pesantren lah!!” (Membalas. Riza mati kutu)
Mimi : “Terangan alumni ESQ-lah yang jadi Imam..” ( nyaut begitu dapet ide brilian)
Riza : “Hayo yang ikutan KCB pemeran Husna jadi Imam!!” (Membalas tak kalah kejam namun “nyableng” dikit).

Hah. Selaluu aja begitu. Mana alasan-alasannya pada gak syar’i, lagi. Tul nggak! Gak ada yang ngaku sih, syapa yang bacaan dan hapalannya paling bagus. Jadinya ya gitu deh….

Akhirnya siang ini yang terpilih menjadi imam adalah Riza. Dia berkorban! (Emm..or ataukah lebih tepatnya “dikorbankan”? Hukum rimbanya : Yang paling kuat dia yang menang. Dan Riza lah yang memenangkan perdebatan). Bagus. Selamet ya Za!...:)

Moga kedepannya ada perubahan arah yang lebih baik…^_^ (chatz).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

YANG BERHAK MENJADI IMAM DALAM SHOLAT BERJAMAAH
Yang berhak menjadi imam bagi suatu kaum dalam shalat berjama'ah menurut sunnah Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling ahli dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan paling mengerti hukum-hukum fiqih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Abu Mas'ud Al-Badri:
"Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur'an) dan yang paling banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an sama, maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya di antara mereka".
Sahabat Nabi saw. yang paling banyak memahami kitab Al-Qur'an adalah orang yang paling banyak pengetahuannya terhadap fiqih. Karena mereka membaca ayat Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukumnya. Oleh karena shalat itu memerlukan keabsahan kepada bacaan Al-Qur'an dan fiqih, maka orang yang ahli membaca Al-Qur'an dan ahli fiqih harus didahuuan daripada selainnya.
Jika salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai membaca Al-Qur'an dan lebih pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada lainnya.
Jika salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam bidang fiqih, sedang yang lain lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih pandai fiqih adalah lebih utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut terjadi sesuatu kejadian yang memerlukan kepada ijtihad.
Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah orang yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu hijrahnya.
Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih utama.
2. Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat, kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami kamu sekalian".
Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.
Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran, kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam Islam.
Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.
Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka.
Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya.
Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya di masyarakat.
Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan izinnya".
Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut.
Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian.
Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak dalam mengatur rumah tersebut.
Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam. Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"
Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan pemimpin adalah lebih utama.
Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam, maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat.
Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan, sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna.
Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama.
Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina.
Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis.
Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama. Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat