Sabtu, 21 Juni 2008

Apakah Menulis Puisi Gampang? Part 2


Banyak jalan menuju Roma. Beribu cara untuk menciptakan puisi. Salah satu kiat jitu yang kerap diakui (baik tua maupun muda dan pemula) adalah jatuh cinta. Bukankah orang yang sedang kasmaran gampang menulis puisi? Seperti puisi ”Surat Cinta” Rendra, berikut ini:

Engkau adalah putri duyung
T
ergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku.


Jadi, dengan menumpahkan isi hati di atas secarik kertas dengan kata-kata indah dan terpilih, tulisan akan menjelma puisi. Atau, silakan tulis surat cinta dengan kalimat-kalimat berbunga, dengan bentuk larik dan bait puisi, ya, dapat juga disebut puisi. Artinya, semakin sering jatuh cinta, tentu semakin terangsang untuk menulis puisi lebih banyak. Semakin banyak jatuh cinta, semakin banyak stock puisi yang akan tersedia. Semakin banyak rasa cinta kita kepada Allah SWT maka akan semakin banyak bentuk rasa syukur dan pujian kepada Allah yang kita goreskan dalam sebentuk pena. Ya namanya jatuh cinta tak harus kepada lawan jenis, sebagaimana yang sering terjadi di masa sekarang. Luapan rasa cinta kepada sahabat, guru, orang tua dan para orang-orang sholeh tentunya juga bisa terabadikan dalam goresan pena.


Berarti, puisi itu dapat dihasilkan oleh siapa pun, yang bukan penyair? Benar. Siapa pun boleh menulis puisi -- tidak sebatas penyair semata. Tidak ada syarat atau batasan tertentu untuk dapat menulis puisi. Pencopet, penodong, pedagang asongan, petani, polisi, politikus, penipu, penjudi, pengusaha menengah, bankir, konglomerat, pengamen, boleh menulis puisi, tak ada larangan atau kutukan. Tak perlu takut dan frustasi. Puisi itu bukan kuntilanak atau momok hitam yang menakutkan. Jadi, tulislah puisi semampu dan seluas jangkauan dan wawasan.

Jika puisi yang ditulis dinilai orang jelek, tak perlu berduka dan frustasi. Terus saja menulis puisi, meski belum memenuhi kaidah-kaidah puitis. Ciptakan terus, tanpa henti – toh masih ada hari esok menanti untuk puisi yang (mungkin) lebih baik. Sejelek apa pun puisi yang dibuat, kata Tardji, tetap saja puisi. Tetapi, silakan renungkan sendiri, termasuk kategori puisi apa? Puisi asal jadi? Puisi basi? Adakah berisi tanda? Atau sekadar corat-coret penumpahan isi hati?

Ingat, puisi bukan alat propaganda, bukan sarana pelepasan kegalauan, bukan pula tong sampah unek-unek.Meski bahasa puisi dan bukan puisi terasa cair; sesungguhnya puisi, sesederhana apa pun, harus penuh dengan ambiguitas dan homonim, penuh dengan asosiasi, memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap—mengutamakan tanda. Masalah ini dipertegas Rene Wellek & Austin Warren, bahasa puisi penuh pencitraan, dari yang paling sederhana sampai sistem mitologi (1993:20). Sementara Sapardi Djoko Damono memberi pengertian lebih sederhana, bahwa puisi adalah ”ingin mengatakan begini, tetapi dengan cara begitu.”

Jika demikian, puisi yang tidak dipenuhi tanda, belum layak disebut puisi? Ingat pendapat Tardji, tetap puisi. Tetapi puisi sesaat; sekali cecap langsung tak bermanfaat. Puisi donat. Seperti puisi yang dibuat anak kelas empat SD, tetap saja disebut puisi.


Itu pula alasan Tardji membagi puisi berdasarkan fungsinya. Jika seseorang menulis puisi untuk kebutuhan sesaat, ya, cuma sebatas itu manfaatnya.

Puisi itu akan segera tersapu angin dan hujan. Sebaliknya, jika puisi diciptakan berdasarkan perenungan mendalam, tanpa dipengaruhi kebutuhan apa pun, akan menjadi puisi sejati. Contohnya puisi-puisi Chairil Anwar. ”Maka, sangat disayangkan, bila ada penyair yang menulis puisi dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu,” imbuhnya.


Sekilas pendapat ini bertentangan dengan kesimpulan Wellek & Warren, bahwa tipe-tipe puisi harus memakai paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara konstektual, asosiasi irasional, memperkental sumber bahasa sehari-hari, bahkan dengan sengaja membuat pelanggaran-pelanggaran. Tetapi, bila dicermati, pendapat Tardji lebih mudah dimengerti dan lebih menegaskan atas keluhan penyair-penyair muda, ”Ada juga puisi pesanan. Puisi yang ditulis oleh penyair untuk kebutuhan, momen atau acara tertentu dengan bayaran tertentu pula.”


Bertitik tolak dari pendapat ini, berarti menulis puisi teramat sulit-lit. Tidak cukup dengan mengamati peristiwa-peristiwa yang ada. Menulis puisi harus penuh perenungan, mendasar dan berdasar. Bahkan, terkadang harus mengalami trance. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, tidak serta merta dapat dijadikan puisi, melainkan harus dikaji, diendapkan, direnungkan secara mendalam. Untuk menulis sebuah puisi saja, sering penyair harus melalui proses sepekan, setahun, sepuluh tahun. Itu pula sebabnya, bila dibandingkan dengan karya seniman lain, sepertinya daya kreativitas penyair dalam berkarya sangat tertinggal jauh. Sebab, setiap penyair (sejati), meski telah berkarya secara maksimal seumur hidupnya, tak dapat menghasilkan seabrek puisi. Bahkan, tak sedikit penyair seumur hidupnya cuma mampu menulis beberapa puisi, misalnya Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo, JS Tatengkeng.

Lalu, masihkah dapat disebut menulis puisi itu gampang? Ada yang menjawab, tergantung kata hati. Ada juga yang menyebut, tanyakan daun-daun yang berguguran. Bahkan, ada pendapat lebih ekstrem, tanyakan pejabat atau konglomerat yang getol bikin puisi, lalu menerbitkan seabrek buku puisi (persis album rekaman dangdut) dan membuat album dangdut puisi atau puisi dangdut yang dipasarkan door to door dengan pelbagai alasan sosial, kemanusiaan dan pengabdian. Ayo, siapa ikut bergoyang puisi?

Penulis adalah pekerja seni.

1 komentar:

casmadi mengatakan...

Sepakat ;-)